Momen yang selalu diingat serasa
seperti baru saja terjadi. Sudah setengah tahun berlalu, tetapi memori tanggal
6 Juni 2014 masih terukir jelas. Aku masih ingat ketika malam sebelumnya aku
tertidur di depan apotik Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan. Aku masih ingat
saat pukul 10 pagi ibu menangis dari dalam ruang ICU setelah diperbolehkan
masuk untuk melihat keadaan ayah. Dan aku masih sangat ingat kenangan memilukan
bersama ibu menemani ayah menjalani saat-saat terakhir yang berat. Meski aku
tak tahu seberapa besar harapan ayah untuk bisa bertahan, tapi aku selalu
berdo’a untuk kesembuhan beliau di atas harapan yang mungkin terlihat tipis.
Ya Allah, seberat inikah yang
dinamakan sakaratul maut? Jika memang hendak Engkau ambil ayah hamba, maka
mudahkanlah.
----------------------------------------
Jam masuk ruang ICU habis.
Setelah Shalat Jum’at, dari luar aku masih menunggu kabar baik yang mungkin
terdengar.
Jam 2 ibu dipanggil seseorang
dari dalam ruang ICU. Aku tetap berharap ada kabar baik.
Satu menit berlalu, terasa lama.
Dua menit, giliran aku dan adikku
yang dipanggil. Sambil berjalan menuju pintu masuk, petugas medis yang
memanggil berkata padaku dan adikku, “Sabar ya, Innalillahi wa inna ilaihi
raji’uun.”
Semua orang mendengarnya,
histeris. Aku tak pedulia apapun. Aku berlari ke dalam. Di samping ayah aku
menangis. Tetapi belum sepenuhnya menangis. Aku baru menangis lepas keesokan
harinya.
----------------------------------------
Dan sampai saat ini terkadang aku masih menangisinya. Ketika
malam tidak bisa tidur atau ketika di kamar kos sendirian, aku menangis. Bahkan
ketika membuat tulisan inipun air mata menetes untuk ayah.
Masih serasa tidak percaya. Aku sering bermimpi tentangnya.
Atau terkadang aku merasa ayah masih mengikuti, masih mengawasiku, terasa masih
dekat.
Aku teringat sebuah potongan lirik lagu tentang ayah.
Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata di pipiku
Ayah, dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
0 komentar:
Posting Komentar